Jumat, 17 April 2009

Dana Siswa Miskin.Lamongan Rp.120.000 perBulan

Dana Siswa Miskin Lamongan Rp 120.000 per BulanLAMONGAN, RABU - Besaran anggaran bantuan khusus siswa miskin di Kabupaten Lamongan tahun 2009 direncanakan naik dari Rp 65.000 hingga menjadi Rp 120.000 per bulan per siswa. Jatah bantuan tersebut rencananya diberikan kepada 4.112 siswa SMA, SMK dan MA sama seperti tahun 2008 lalu.Kepala Bagian Humas dan Informasi Komunikasi Lamongan Aris Wibawa, Rabu (7/1), mengatakan sampai saat ini Surat Keputusan (SK) alokasi bantuan khusus siswa miskin (BKSM) Lamongan untuk tahun 2009 belum turun. Untuk sementara, masih menggunakan acuan data BKSM yang lama sebanyak 4.112 siswa di 61 lembaga pendidikan setingkat SMA, MA dan SMK."Bantuan akan diterimakan selama 12 bulan dengan besaran sementara dibuat sama Rp 65.000 per siswa perbulan. Total anggaran BKSM mencapai Rp 3,207 miliar," kata Aris.Dia mengatakan ada rencana kenaikan besaran dana BKSM dari semula diterimakan sama Rp 65.000 baik untuk siswa SMA, SMK maupun MA menjadi variatif. BKSM untuk siswa siswa naik menjadi Rp 90.000, dan Rp 120.000 untuk siswa SMK, sedang untuk siswa MA tetap Rp 65.000.Sampai saat ini SK kenaikan besaran BKSM tersebut belum turun, sehingga Dinas Pendidikan Lamongan sementara ini masih mengacu pada ketentuan lama. "Besarnya besaran BKSM untuk siswa SMK dinaikkan dimungkinkan terkait dengan prioritas program Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang akan mengkonsentrasikan pada sekolah kejuruan dalam rangka menyiapkan angkatan kerja," kata Aris.Aris menjelaskan program BKSM merupakan dana sharing antara APBN 40 persen, APBD Provinsi 30 persen dan APBD Kabupaten 30 persen. Pada prinsipnya BKSM dikucurkan agar jangan sampai ada siswa miskin, terutama tingkat SMA, MA dan SMK, tidak bisa sekolah dengan alasan tidak ada biaya.Penyaluran BKSM dilakukan lewat lembaga sekolah untuk dikelola. Peruntukan BKSM bisa untuk pengadaan buku maupun Lembar Kerja Siswa (LKS) dan peningkatan mutu kegiatan belajar sekolah. "Kalau diperlukan, BKSM bisa diperuntukkan membiayai transportasi sisw a miskin. Meski diperkenankan peruntukan uang transportasi tidak dilaksanakan karena dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan," katanya.Aris menambahkan besaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga naik. Berdasar surat dari Menteri Pendidikan Nasional besaran BOS akan naik dari Rp 21.000 menjadi Rp 33.000 per bulan per siswa tingkat SD. BOS untuk tingkat SMP naik dari Rp 29.500 menjadi Rp 37.500 per bulan persiswa. "Namun jatah alokasi BOS di Lamongan untuk berapa siswa belum ditentukan," ujarnya.

http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/07/15220227/Dana.Siswa.Miskin.Lamongan.Rp.120.000.per.Bulan.

Pendidikan bagi anak di lokalisasi prostitusi

Pendidikan menjadi alat kendali di Lokalisasi

Salah satu program teranyar Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) adalah membangun Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun sekitar lokalisasi prostitusi Kelurahan Putat Jaya, Surabaya.

Di kawasan ini orang biasa mengenal Gang Doli dan Jalan Jarak. Pembangunan PLK di sana selain meningkatkan mutu pendidikan bagi anak didik di sekitar lokalisasi, yang terpenting melalui pendidikan ini diharapkan dapat memajukan pola pikirnya penduduk setempat bagi kelangsungan pendidikan anak-anaknya dilokasi tersebut.
”Jadi itu yang diharapkan dengan pendidikan di sana dapat menjadi alat kendali bahwa bisnis lokalisasi tidak akan berkembang ke generasi berikutnya,” tambahnya.
Bisnis lokalisasi yang notabena adalah bisnis tidak halal ini sulit diberantas namun hanya dapat dikendalikan agar gaungnya tidak sampai meluas. Informasi yang dihimpun SPIRIT karena warga setempat merasa terbantu perekonomiannya dengan adanya lokalisasi tersebut. Misalnya penduduk setempat adanya yang menjadi tukang cuci, tukang parkir, keamanan, bergadang kelontong dan sebagainya. Karena memang pekerja seks komersial ini bukan dari penduduk setempat melainkan 100 persen adalah dari pendatang di sekitar Jawa Timur.

Anak-anak usia sekolah disekitar lokalisasi --khususnya di RW III, VI, dan XI-- banyak yang putus sekolah. Hal tersebut disebabkan kurangnya dorongan untuk menempuh pendidikan dari orang tua. Mainset warga yang terbentuk adalah dengan adanya lokalisasi, mereka dapat bekerja dengan berdagang dan dapat menghidupi keluarga.

Ketika pendidikan yang rendah saja dapat menghasilkan uang, maka pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang sekunder. Mainset seperti inilah yang menghambat pendidikan bagi anak-anak sekitar daerah lokalisasi. Program yang dirancang bagi PLK untuk gang doli ini adalah baca, tulis, dan hitung (Calistung) dan program registrasi kelahiran anak. ”Hal ini untuk kelegalan surat-surat seperti akte lahir,” ucap Dewi Mende selaku ketua PLK.

Peserta program calistung tersebut dipilih dari anak-anak yang putus sekolah dan bermasalah seperti slow lerner atau lambat dalam belajar. Masalah slow lerner tersebut yang menjadi dorongan orang tua untuk memberhentikan sekolah anaknya. ”Jadi bukan karena tidak mampu saja tapi karena orang tua malu anaknya tidak pernah naik kelas,” ungkap Dewi. Selain anak putus sekolah, beberapa diantaranya terdapat anak pendatang yang cacat.

Program registarasi kelahiran anakyang juga diterapkan berguna bagi wanita tuna susila yang melahirkan anak tanpa suami. Sehingga anak-anak yang lahir diserahkan begitu saja atau diadopsi dibwah tangan oleh orang lain. ”Karena diadosi bawah tangan jadi status hukum anak itu tidak jelas,” seru Dewi. Hal ini banyak dialami oleh wanita tuna susila yang baru dan belum tahu cara penggunaan kontrasepsi sehingga mengakibatkan kehamilan.

Anak-anak disekitar lokalisasi tersebut belum teridentifikasi seluruhnya. ”Tapi yang jelas tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya sangat rendah,” papar Dewi. Penyebabnya dapat diasumsikan menjadi dua bagian yaitu karena mereka dapat hidup dengan kehidupan malam dilingkungan tersebut.

Dapat dikatakan karena latar belakang yang kurang memadai sehingga pemikirannya sederhana, yaitu pengaruh lingkungan yang tidak mementingkan pendidikan menjadi hal yang prioritas. ”Ada kasus, orang tuanya kurang kuat untuk memberi dorongan sang anak dalam menuntut ilmu jadi anaknya malas belajar dan tidak naik kelas kemudian sekolahnya diberentikan oleh orang tuanya,” ungkap Dewi.
Diharapkan para siswa PLK mendapat dua ijasah yang dapat ia gunakan, yaitu ijasah akademis dan kompetensi. Hingga tahap sosialisasi ini, belum ditentukan keterampilan apa yang akan diajarkan karena menurut Dewi keterampilan tersebut akan disesuaikan dengan permintaan siswa PLK. Sedangkan untuk tempat pendidikan juga belum ditentukan. ”Kalau saja ada yang bersedia tempatnya dipakai untuk belajar tapi nantinya dia tidak bisa menjalankan usahanya,” tutur Dewi.

Kebanyakan tempat mucikasi di gang doli ini terselubung dengan bisnis restaurant dan hiburan. ”Izinnya bisnis tempat hiburan tapi didalamnya ada kamar, dengan izin itu mereka bisa jalan dibawah departemen pariwisata,” jelas Dewi. Hal ini pernah Dewi tanyakan kepada pihak kepolisian namun karena surat izin yang dimiliki oleh pebisnis tersebut adalah legal jadi pihak kepolisian tidak dapat berkutik untuk menutup tempat mucikari tersebut.

Diharapkan dengan dibukanya PLK dilingkungan lokalisasi, sehingga anak-anak dapat bersekolah kembali. ”Pernah saya mendapat satu wejangan dari ustadz, pekerjaan paling tua adalah prostitusi jadi sampai seumur dunia tidak akan hilang. Yang dapat dilakukan hanyalah mengendalikan. Kendalinya dari tolak ukur pendidikan.

Sumber: http://www.ditplb.or.id

Layanan Pendidikan Untuk Kaum Marginal Masih Terabaikan





(Tempo Interaktif) Direktur Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati mengatakan layanan pendidikan bagi kaum marginal masih sangat minim. Beasiswa yang selama ini digulirkan pemerintah untuk membantu kaum marginal juga dinilai tidak efektif.

"Tidak cukup hanya dengan pemberian beasiswa. Pendidikan untuk kaum marginal harus dilakukan dengan empati," katanya dalam seminar dan sosialisasi pendidikan kesetaraan di Aula Masjid Baitussalam, Jakarta, Minggu (29/04).

Menurutnya, layanan pendidikan yang bersifat empati, salah satunya adalah dengan menggalakkan program pendidikan kesetaraan bagi kaum marginal. Selain lebih efektif, pendidikan kesetaraan juga dianggap lebih fleksibel dan tepat diterapkan pada kaum marginal. Sebab, selain bersifat nonformal, pendidikan kesetaraan juga mengajarkan keterampilan dasar yang dapat melatih peserta didiknya untuk lebih siap dalam menghadapi dunia kerja. "Dalam pendidikan kesetaraan, yang diajarkan bukan hanya keseriusan, tapi juga bermain. Bukan hanya logika, tapi juga empati," katanya.

Pendidikan kesetaran merupakan pendidikan nonformal yang mencakup program Paket A (setara dengan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiah), Paket B (setara dengan Sekolah Menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah), serta Paket C (setara Sekolah Menengah Umum atau Madrasah Aliyah). Hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal, setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sehingga, setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan berhak melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. "Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang setara dnegan pendidikan formal dalam memasuki perguruan tinggi atau lapangan kerja," katanya.

Ia manambahkan, pendidikan kesetaraan bukanlah hal yang baru. Ia mencontohkan, sebanyak 1,1 juta siswa di Amerika Serikat memilih pendidikan di sekolah rumah. Sedangkan di Inggris, sekitar 90 ribu orang memilih belajar di rumah daripada disekolah. "Hal yang sama juga terjadi Kanada dan Selandia Baru," katanya.

Di Indonesia sendiri, peserta didik pendidikan kesetaraan Paket B pada 2007 tercatat 535,072 orang. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah peserta didik pendidikan kesetaraan pada 2003 yang hanya berjumlah 259,360. Sedangkan peserta didik pendidikan kesetaraan Paket A tahun ini berjumlah 105,468 orang. Jumlah kelulusan Paket B pada 2006 tercatat 310,287 orang dan Peket A sebanyak 27,821 orang. Untuk meningkatkan layanan pendidikan kesetaraan, ia menambahkan, Departemen Pendidikan Nasional telah menganggarkan dana sebesar Rp 260 ribu untuk setiap peserta didik Paket A per tahun dan Rp 238 ribu untuk peserta didik Paket B per tahun. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan kesetaraan, departemennya akan membantu dana sebesar Rp 1,8 juta per tahun untuk Paket A dan 2,4 juta per tahun untuk Paket B.

Selain mensosialisasikan pendidikan kesetaraan, ia juga memberikan bantuan berupa satu unit mobil kepada Yayasan Al Hikmah untuk menjalankan program pendidikan kesetaraan. Acara ini juga dihadiri Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah dari Fraksi PKS dan Ahli bidang pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Sukro Muhab.

sumber : http://www.kesetaraan.net/index.php?option=com_content&task=view&id=33&Itemid=1

mobille school layanan pendidikan untuk masyarakat yang terpinggirkan di kota Bandung

Deklarasi dakar tahun 2000 tentang pendidikan untuk semua (PUS) yang berisi 6 pokok, mengisyaratkan semua negara yang menandatangani meratifikasi UU pendidikan di negaranya masing-masing. Indonesia adalah salah satu negara tersebut, melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Wajar Dikdas). Untuk itulah menuju PUS Indonesia memakai Wajar dikdas sebagai Implementasinya.

Kita mengetahui bahwasannya pendidikan merupakan hak setiap orang tanpa memandang status ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah lokal harus berupaya menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Pemerintah lokal telah dapat menyelenggarakan bentuk layanan pendidikan secara formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di tempat yang telah disediakan seperti sekolah.

Namun bagaimana dengan bentuk layanan pendidikan non formal?. Layanan pendidikan non formal dapat diartikan sebagai bentuk layanan pendidikan diluar jalur formal misalkan proses pendidikan di tempat kursus, bimbingan belajar, kejar (kegiatan belajar) paket A B C, dan tempat belajar lain diluar sekolah. Model-model layanan pendidikan non formal ini biasanya diselenggarakan pada sebuah tempat yang sifatnya menetap. Namun kelemahan model ini adalah masih adanya beberapa kalangan masyarakat yang belum tersentuh layanan pendidikan. Oleh karenanya dibutuhkan cara-cara kreatif dari pihak yang berwenang untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah Kota Bandung telah menemukan cara-cara kreatif untuk menanggulangi masalah seperti tersebut diatas dengan menggunakan pola sekolah bergerak untuk kebutuhan layanan pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan. Konsep yang ditawarkan adalah dengan konsep mobille school. Dengan konsep ini diharapkan agar seluruh warga kota Bandung yang belum tersentuh pendidikan dapat menggunakan fasilitas tersebut tanpa mengelurkan biaya sedikitpun, karena mobille school yang pada operasionalnya dengan menggunakan kendaraan bergerak menjangkau mereka. Konsep mobile school merupakan program yang dirancang untuk menjaring siswa putus sekolah atau drop out (DO), khususnya anak jalanan agar termotivasi kembali ke bangku pendidikan.

Pemerintah akan menjamin mereka yang termotivasi untuk disalurkan ke sekolah-sekolah terdekat dengan cara menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah agar calon siswa yang tertarik bisa langsung disalurkan sesuai dengan kebutuhannya, baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Pengawasan program dilakukan pihak terkait setiap saat agar pelayanan pendidikan dengan konsep ini dapat mengena dan tepat sasaran. Masyarakat dapat turut berpartisipasi, agar proses layanan pendidikan dengan mobile school dapat berjalan dengan lancar. Karena pendidikan adalah investasi dan kunci untuk memajukan bangsa dari ketertinggalan.

sumber :http://duniapendidikan.wordpress.com/2007/12/09/mobille-school-layanan-pendidikan-untuk-masyarakat-yang-terpinggirkan-di-kota-bandung/

SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.


Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Para peserta sosialisasi menyambut baik adanya pemberian subsidi dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah guna mendukung pemerataan Wajar Dikdas 9 Tahun dan menyediakan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK dan PLK) yang semakin merata dan berkualitas.Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

http://www.subdinplbk-ntt.com/2007/index.php?menu=news&id_news=51

Sentra Pendidikan Layanan Khusus Di Tambah

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)
(uchie)

Sumber: kompas cyber media

Pendidikan Layanan Khusus Bagi Anak Pinggiran Jakarta

Wajah suka cita terpancar dari anak-anak, penduduk, dan pejabat daerah setempat ketika tiga iring-iringan mobil dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, singgah di Desa Sukadamai, Jonggol. Letak desa yang hanya "sepelemparan batu" dari Jakarta itu ternyata nyaris belum terlayani pendidikan secara baik.Bocah belia di desa itu bersyukur karena bakal diresmikannya Sekolah Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Cita Madani untuk anak daerah terpencil setingkat SD hingga SMA, di Kampung Lereng Gunung Siem RT 01/01, Desa Sukadamai, Kecamatan Suka Makmur, Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/11), yang puluhan tahun mereka idamkan.Setibanya di sana, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, didampingi beberapa pejabat setempat beramah tamah sekaligus meresmikan Sekolah PLK Cita Madani yang dipimpin oleh Ahmad Zayyadi.Tak disangka-sangka, Kecamatan Suka Makmur merupakan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah ke 40 dari 40 kecamatan di wilayah Jonggol, sementara sekolah SD dan SMP terdekat berjarak 10 kilometer dari desa Sukadamai. Mayoritas anak-anak di sana tidak pernah sekolah. Kalau pun mereka sekolah, baru bersekolah kelas 1 SD umur 10 tahun, dan kelas 3-4 sudah putus sekolah."Jika ada masyarakat atau lembaga yang ingin memberdayakan anak-anak untuk berpartisipasi melalui jalur pendidikan, kami patut berterima kasih, terutama kepada PLK Cita Madani. Setidaknya akan membantu meningkatkan IPM desa tersebut," tutur Ekodjatmiko.Dalam kesempatan itu, pimpinan Cita Madani Ahmad Zayyadi mengatarkan bahwa anak-anak walaupun masih sibuk membantu orang tuanya di sawah atau di ladang serta berdagang, mereka masih bisa sekolah lewat program Direktorat PSLB Ditjen Mandikdasmen Depdiknas."Melalui program Depdiknas, yaitu sekolah PLK, maka anak-anak di sini akan memperoleh kesempatan untuk meneruskan pendidikannya. Program Sekolah PLK ini merupakan terobosan yang luar biasa dari Direktorat PSLB," kata Zayyadi yang disambut tepuk tangan dari anak-anak, orangtua murid, serta pejabat daerah se- tempat.Zayyadi memaparkan, pihaknya telah mempersiapkan lahan beberapa hektare untuk pembangunan sekolah PLK di Desa Sukadamai. Untuk mempercepat program itu, pihak Direktorat PSLB tahun 2007 telah membantu anggaran sebanyak Rp 55 juta untuk operasional dan penyelenggaraan PLK di sana. Kemudian ditambah Rp 15 juta untuk sarana pendukung lainnya.Ekodjatmiko mengatakan, para penerima block grand dari pemerintah ini bukan hanya sebagai pengelola dan tenaga tutor, tapi memiliki amanat. Pasalnya, Cita Madani mesti berjuang untuk menaikkan derajat anak-anak di wilayah yang masih terbelakang. Tak lama lagi sekolah PLK seperti itu akan menjadi contoh sekolah PLK di wilayah lain yang memerlukan pendidikan, terutama pendidikan residual atau yang tidak terjangkau pendidikan formal.Ekodjatmiko menuturkan, pendidikan memang menjadi hal yang penting bagi anak-anak di wilayah seperti ini, selain akan meningkatkan IPM pada wilayah tersebut, akan pula terjamin masa depan anak-anak lulus hingga pendidikan 12 tahun. "Terjaminnya kesejahteraan anak-anak dan masyarakat kelak hanya lewat pendidikan yang sesuai dengan standar dan kebutuhan di wilayah itu," katanya.Peresmian disaksikan kepala Desa Sukadamai, perwakilan kecamatan Suka Makmur, perwakilan perguruan tinggi seperti Universitas Muhammadyah Jakarta dan Institut Pertanian Bogor. Desa ini juga masih kekurangan tenaga pengajar. Guna menjawab persoalan itu, pihak PSLB meminta perguruan tinggi untuk menyediakan dan menyiapkan tenaga tutor mahasiswa lewat program kuliah kerja nyata (KKN).Sumber: Suara Pembaruan, 11 Des 2007
http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1197374904&archive=&start_from=&ucat=2&

NTT sediakan PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

*Sumber:(http://spiritentete.blogspot.com/2008/03/ntt-selenggarakan-pendidikan-layanan.html)

Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus

Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.

Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.

Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)

Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.

Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.

Layanan Bimbingan Konseling Yang Belum Merata

BANDUNG, (PR).- Pemerintah kabupaten/kota melalui dinas pendidikan masing-masing, diminta lebih peduli terhadap pemerataan layanan bimbingan dan konseling (BK), khususnya di sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemetaan yang akurat menjadi syarat mutlak pembuatan berbagai program peningkatan kualitas.

Persoalannya, hingga saat ini, seolah tidak ada koordinasi pendataan antara disdik kab./kota dan Disdik Jabar, sehingga data lengkap tentang layanaan BK sulit didapatkan.

"Jika dinas tidak memiliki data, bagaimana program peningkatan kualitas layanan BK bisa dijalankan? Yang terjadi, banyak kegiatan menjadi sporadis dan asal ada, tanpa menyentuh kebutuhan yang sebenarnya," kata Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (Abkin) Jabar Uman Suherman di Bandung, Kamis (29/1).

Selain persoalan utama tidak adanya guru BK di mayoritas SMK, kompetensi guru di kebanyakan sekolah juga dipertanyakan. Banyak guru mengambil peran BK semata untuk memenuhi tuntutan banyaknya jam mengajar, tanpa ada pembekalan yang mendalam. Akibatnya, layanan BK menjadi tidak maksimal.

"Sudah saatnya disdik memiliki pemetaan yang rapi dan akurat. Antara kab./kota dan provinsi, mestinya ada garis koordinasi yang terjalin baik. Kepala sekolah bisa menjadi ujung tombak," ujarnya yang juga Sekretaris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Sulit

Ditemui terpisah, Kepala Subdinas Pendidikan Menengah-Tinggi (Dikmenti) Disdik Jabar Otji mengungkapkan, guru BK memegang peran besar dalam proses pendampingan siswa, baik di SMA maupun SMK. Pemerataan guru di setiap sekolah dia rasa sebagai sesuatu yang penting. Persoalannya, sangat sulit membuat pemetaan layanan BK secara menyeluruh di Jabar.

"Sejak otonomi daerah, kita tidak memiliki wewenang lagi. Semua dikelola kab./kota. Mungkin itu yang membuat mereka enggan melaporkan perkembangan secara rutin tiap tahun. Kita tidak memiliki data," ucap Otji. (A-165)

Komitmen Depdiknas Terhadap Pendidikan Khusus

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?
Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.
Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.
Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.
Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.
Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).
Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.
Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.
Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.

Sumber: http://arsip.pontianakpost.com/

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS UNTUK SISWA CI/BI

Perlunya pendidikan untuk anak yang memiliki potensi cerdas istimewa (CI) secara eksplisit diungkapkan dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara spesifik disebutkan bahwa anak CI berhak mendapatkan pendidikan khusus, yang diarahkan untuk pengembangan potensi yang ada agar dapat diwujudkan dalam bentuk karya atau prestasi.

Selama ini layanan pendidikan untuk anak CI diwujudkan dalam bentuk program akselerasi yang dilakukan di sekolah-sekolah mulai tingkat SD, SMP sampai SMA. Program akselerasi yang dilakukan lebih diarahkan pada percepatan penyelesaian studi, SD dapat diselesaikan dalam waktu 5 tahun dan SMP/SMA diselesaikan dalam waktu 2 tahun. Di satu sisi, program ini menjadi salah satu andalan sekolah untuk memberikan nilai tambah, sehingga reputasi sekolah yang bersangkutan menjadi lebih baik di mata masyarakat. Sehingga banyak sekolah yang berminat membuka program tersebut, meskipun kesiapan sumber daya dan pemahaman tentang konsep anak CI masih sangat terbatas.

Berdasarkan data yang ada pada penulis, di seluruh Indonesia terdapat 191 sekolah penyelenggara akselerasi yang tersebar di 22 propinsi. Data ini agak berbeda dengan data resmi Dit PSLB tahun 2007 yang menyatakan bahwa terdapat 130 sekolah tersebar di 27 propinsi dengan jumlah siswa 4510 orang. Meskipun kedua data ini berbeda, namun tampak bahwa jumlah anak CI yang terlayani jumlah masih relatif sedikit.

Beberapa ahli psikologi menyatakan bahwa sekitar 2,2% dari populasi anak usia sekolah, ada yang memiliki kecerdasan istimewa. Apabila menggunakan data BKKBN tahun 2004 terdapat 39.246.700 orang anak usia 7-15 tahun. Artinya terdapat 863.427 anak CI. Jika dibandingkan dengan data Direktorat PSLB tahun 2007, yang menyebutkan baru 4.510 anak CI yang terlayani di program akselerasi, berarti baru 0,52% yang terlayani.

Di sisi lain, sorotan akan keberadaan program akselerasi juga tidak kurang semaraknya. Salah satu hal penting yang disoroti adalah rendahnya kecakapan sosial siswa, sehingga cenderung mereka menjadi asing dengan lingkungan dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Sorotan negatif ini kemudian menjadi alasan bagi sekelompok pihak untuk meminta pembubaran program akselerasi. Kritik tersebut dapat dipahami, karena jika dicermati lebih jauh, tidak semua siswa di kelas akselerasi memenuhi kriteria psikologis yang mencakup IQ, kreativitas dan task commitment. Akibatnya mereka tidak mampu mengikuti program dengan baik dan berdampak prestasi yang diraih menjadi tidak optimal. Faktor guru, juga merupakan aspek yang mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan akselerasi. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru tidak disiapkan untuk mengajar di program akselerasi, serta karateristik psikologis guru tersebut kurang cocok untuk melayani anak CI. Di samping itu, ditemukan juga di beberapa sekolah, penugasan guru untuk mengajar program akselerasi dilakukan secara bergantian (seperti model arisan) dengan alasan pemerataan kesempatan.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa layanan pendidikan untuk anak CI belum dilakukan secara cukup memadai. Lebih jauh diperlukan keterlibatan semua pihak untuk menjadikan pendidikan. Menyadari keadaan semacam itu, pada bulan Desember 2007 dilakukan pertemuan di Semarang yang diikuti oleh unsur sekolah, perguruan tinggi, Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan dan kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap anak CI. Pertemuan tersebut menyepakati pembentuk suatu perhimpunan yang diberi nama Asosiasi Penyelenggara, Pengembang dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Anak Cerdas/Berbakat Istimewa disingkat ASOSIASI CI/BI. Secara umum ada tiga kelompok yang berhimpun dalam Asosiasi, yaitu sekolah (penyelenggara), perguruan tinggi (pengembang), serta pemerintah dan masyarakat (pendukung).

Asosiasi CI/BI merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan Asosiasi CI/BI memiliki 4 tujuan, yaitu: (1) meningkatkan kapasitas kelembagaan penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (2) Meningkatkan peluang bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh akses terhadap layanan pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan, (3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (4) Mengembangkan jaringan informasi dan kerjasama.

Sementara itu, Asosiasi CI/BI berfungsi sebagai : (1) Penggerak, mendorong lembaga pendidikan penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk melakukan layanan pendidikan yang bermutu, efektif, dan berkelanjutan., (2) Pemberdaya, melakukan pembinaan dan pengembangan manajemen dan mutu layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, (3) Pengkoordinasi, membangun kerjasama dengan pemerintah dan instansi terkait dalam pemberdayaan lembaga penyelenggara pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

Saat ini Asosiasi CI/BI sedang melakukan penataan organisasi dan penguatan kelembagaan melalui pembentukan pengurus-pengurus wilayah di setiap propinsi yang telah memiliki sekolah akselerasi. Di samping itu, Asosiasi CI/BI juga melakukan identifikasi pengumpulan data tentang anak-anak cerdas istimewa yang mengikuti program akselerasi. Asosiasi juga berupaya untuk memfasilitasi pengembangan potensi siswa cerdas/berbakat istimewa yang selama tidak terakomodasi di lembaga pendidikan formal dalam bentuk program akselerasi atau lainnya.

Dalam bidang kurikulum, pokja Asosiasi sedang melakukan kajian tentang kompetensi terutama bidang MIPA yang harus dimiliki oleh anak CI. Hal ini dilakukan karena selama ini, tidak tampak perbedaan kompetensi antara siswa program reguler dan program akselerasi. Yang membedakan hanya kecepatan menyelesaikan materi yang ditentukan dalam standar isi. Dalam bidang pembelajaran, Asosiasi CI/BI sedang,mengkaji model pembelajaran inklusif untuk anak CI melalui sistem moving class dan pembelajaran akselerasi di dalam kelas inklusif.

Perhimpunan yang dibangun relatif masih baru, oleh karena itu aktivitas yang diselenggarakan oleh Asosiasi CI/BI masih sangat terbatas. pada tahun 2008, pengurus Asosiasi telah melakukan dua pertemuan untuk koordinasi program dan pertengahan Juni 2008 telah diadakan pelatihan Identifikasi Anak CI yang diikuti oleh para psikolog dari lingkungan perguruan tinggi maupun praktisi di biro psikologi yang menjadi mitra sekolah-sekolah akselerasi. Direncanakan pada akhir Juli 2008 Asosiasi akan meluncurkan blog dan pada akhir Agustus 2008, akan mengadakan seminar nasional tentang pengembangan pendidikan khusus bagi anak cerdas istimewa dari prespektif pemerintah, psikolog, pendidik, serta pendidikan karakter bagi anak CI. Cita-cita yang ingin dibangun Asosiasi CI/BI adalah menjadi bagian dari bangsa ini untuk membangun pendidikan yang lebih baik bagi semua. Meskipun terkesan ekslusif, namun program-program yang terkait dengan pengembangan pendidikan khusus bagi anak CI memberikan multiplier effect pada pendidikan secara keseluruhan.

http://asosiasicibinasional.wordpress.com/2008/09/13/pengembangan-pendidikan-khusus/

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG,SABTU - Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

KOR

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna

JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).

Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).

Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.

Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.

Wisnu Dewabrata

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/09/19310624/pendidikan.khusus.korpaskhas.tni.au.paripurna

Resolusi Pendidikan Khusus.

Menimbang :
Bahwa pendidikan bagi para penyandang cacat seyogyanya merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan umum;
Bahwa mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus akibat kecacatan seyogyanya memperoleh akses ke sekolah umum yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan khususnya;
Bahwa sekolah umum dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua;
Bahwa sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan;
Bahwa pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa ‑ atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah umum ‑ seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah umum;

Mengingat :
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990);
Peraturan Standar tentang Persamaan Hak dan Kesempatan bagi Penyandang Cacat (Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993);
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994);
Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya Pasal 32);

Maka dengan ini Musyawarah Nasional Persatuan Tunanetra Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 4-8 Januari 2004, mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia hal-hal sebagai berikut :
Hendaknya peraturan pemerintah tentang pendidikan khusus (yang seyogyanya dikeluarkan sesuai dengan amanat Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32 ayat 3) mengakomodasi hak penyandang cacat untuk bersekolah dalam seting inklusi di sekolah umum dengan layanan pendidikan khusus.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, hendaknya pendidikan khusus tidak diartikan sebagai pendidikan di sekolah khusus (atau sekolah luar biasa), melainkan layanan pendidikan khusus yang diberikan kepada para peserta didik penyandang cacat yang diselenggarakan dalam seting segregasi di sekolah khusus maupun dalam seting inklusi di sekolah umum.
Hendaknya SLB yang ada dikembangkan fungsinya sehingga mencakup fungsi sebagai pusat sumber bagi sekolah umum yang melayani peserta didik penyandang cacat.
Hendaknya Direktorat Pendidikan Luar Biasa beserta lembaga infrastrukturnya berfungsi sebagai lembaga koordinasi sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus bagi peserta didik penyandang cacat di berbagai seting pendidikan termasuk di sekolah umum.

http://www.idp-europe.org/pertuni/Resolusi2004/PendidikanKhusus.php

Masyarakat Diajak Untuk Berpartisipasi dalam Pendidikan Keagamaan



Setelah keluarnya Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 14 taun 2005, dan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007, masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Dorongan sekaligus ajakan ini datang dari Kanwil Depag Sulut melalui Kakanwil Depag, yang didampingi Kabid Urusan Ibadah dan Pendidikan Agama Kristen (PAK) Drs Jifry Kawung dan Hubmas Pdt John Tiaar STh, Kamis (14/02).
Menurut Kawung, dasar hukum pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan tersebut berdasarkan PMA nomor 14 tahun 2005 tentang [edoman pelnyelenggaraan Sekolah menengah Teologi Kristen (SMTK) serta ujian negara, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Untuk pengembangannya menurut dia, ada petunjuk tekni dan kurikulum yang dikeluarkan Dirje Bimas Kristen Depag RI untuk Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK), Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK), dan Sekolah Menengah Agama Kristen (SMTK).
“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yagn mempersiapkan peserta didik mejadi anggota masyarakat yang emmahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agaman dan menjadi ahli ilmu agama,” tambahnya.
Pendidikan keagamaan jelas dia, merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Sementara itu tentang tujuan pendidikan keagamaan tambahnya, pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang memperisiapkan peseta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
“Berdasarkan hal inilah kami mengharapkan pada seluruh yayasan, sinode gereja-gereja, atau pimpinan gereja, sekiranya dapat menyelenggarakan Sekolah Menengah Teologi Kristen, bahkan dari tingkat SD,” tambahnya. (lex)


sumber : http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2008/feb_15/lkMim001.html

Depag Tak Sanggup Berikan Pendidikan Bermutu

Jakarta – Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan Departemen Agama (Depag) tidak yakin mampu memberi pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya anggaran untuk pelaksanaan program pokok pendidikan yang kini diterima sangat kecil.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta mengamini pernyataan Menag. Namun, Bappenas menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah), karena urusan pendidikan agama bukan lagi melulu beban Departemen Agama.
“Kami di Depag berharap mendapat anggaran yang lebih wajar dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Kami minta yang wajar,” kata Maftuh Basyuni dalam rapat kerja gabungan Komisi VIII dan X DPR di Jakarta, Senin (10/7). Rapat tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
Karena itu, setidaknya Depag memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,24 triliun untuk membiayai program dan kegiatan mendesak yang belum tertampung dalam APBN 2006. Maftuh juga menjelaskan pihaknya akan membentuk panitia kerja (panja) bersama Mendiknas dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) guna mengatasi adanya diskriminasi dalam anggaran pendidikan anatara departemen pendidikan dan Depag.

Bukan Beban Depag
Pihaknya akan melakukan pembicaraan awal yang intensif dalam waktu dekat. Hal itu terkait dengan alokasi anggaran pendidikan nasional yang 84% masuk ke Depdiknas.
Menag menilai ada diskriminasi anggaran pendidikan terhadap pihaknya. Ihwalnya, 20 persen anggaran pendidikan yang diambil dari APBN, sekitar 84 persen untuk pendidikan nasional dan hanya 16 persen untuk pendidikan agama. Namun, di Depag, anggaran tersebut dibagi menjadi 2, yaitu untuk pendidikan agama dan gaji pegawai. Untuk Diknas, dana itu khusus untuk anggaran pendidikan.
Rendahnya anggaran pendidikan di Depag tersebut disesalkan Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Ia juga menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah). Menurutnya, pendidikan keagamaan tidak lagi menjadi wewenang pemerintah pusat, yakni Departemen Agama.
Menurut Paskah, sekolah umum yang dikelola Depdiknas berbeda dengan sekolah keagamaan yang telah didesentralisasikan dan APBD memiliki kontribusi. Perbedaan juga terjadi dalam hal tunjangan kesejahteraan guru yang bersumber dari APBD.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah formulasi baru agar daerah bisa memberi kontribusi juga kepada pendidikan keagamaan di daerahnya dan tidak hanya memberatkan pada kebijakan pemerintah pusat.
Sementara itu, Depag mengusulkan anggaran untuk tahun 2007 sebesar Rp 21,4 triliun. Namun, Depag hanya memperoleh pagu sementara sebesar Rp 10,7 triliun untuk membiayai 5 fungsi dan 21 program Depag. Dari pagu sementara itu, anggaran untuk pendidikan agama hanya Rp 3,6 triliun.

sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/11/nas06.html

Pentingnya Pendidikan Keagamaan di Sekolah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan di sekolah adalah mewujudkan UU yang dituangkan pada GBHN. Realisasi yang sering kita lihat adalah bhwa pendidikan keagamaan tidak diikutkan pada UAN (Ujian Akhir Nasional). Ini jelas bisa dilihat tujuan bangsa indonesia yang dituangkan pada GBHN jauh dari dapat direalisasikan tujuan GBHN tersebut.



Seperti kita lihat pelajaran keagamaan di setiap sekolah yang dikatakan "umum" itu hanya diselipkan pada waktu yang hanya sdikit sekali, padahal jika pendidikan agama di UAN-kan maka bisa dipastikan waktu pembimbingan akan ditambah dan ini layak bagi pelajaran keagamaan.

Tujuan bangsa indonesia akan terrealisasikan karena setiap pemeluk agama akan betul-betul memahami dan melakukan pedoman agamanya.

*> Makna (Q.S al jaljalah : 6-8).
"Faman ya'mal mitskoola dzarrotin khoeron yarrohu. Wa man ya'mal mistkoola dzarrotin syarron yarohu."

Banyak persepsi menyatakan bahwa ayat ini tertuju pada setiap amal yang dilakukan, dan balasannya hanya bisa dirasakan di akhirat saja. Padahal tidak demikian makna dari ayat di atas. Bisa diartikan pada setiap usaha kita, sebagai bahasannya: "Ketika kita bekerja / dalam arti berusaha sedikit yang kita lakukan maka akan mendapat hasil yang sedikit pula."

Sebagai contoh si Anu bekerja sebentar sebagai kuli pasar, maka hasil yang didapat akan sedikit pula, inilah yang dimaksud lain pada ayat di atas.

Kesimpulan dari makna ayat di atas dapat dibuktikan di dunia, bukan di akhirat saja. Tapi lebih jelasnya dunia dan akhirat. Sekecil jarah yang dilakukan / berusaha kita maka sekecil jarah pula yang didapat.


sumber : http://peperonity.com/go/sites/mview/artikel.2/16907174

Soal Penyusunan RPP Pendidikan Keagamaan

JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodokRancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP PendidikanKeagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalammenempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia."Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknashendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengaturpenyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwankepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2) .Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihathegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP ituhampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapakentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negaraseharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya.Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semuakomponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensibegitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMMsiap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoninegara kepada masyarakat," katanya.Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentangjenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantrentercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknyahal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara.Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yangsecara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu,dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalampasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan."Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpamembedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkansecara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agamatertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan.Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastianhukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agamatertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khasyang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkansemua," ujarnya.Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikankeagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik,menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agamatertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknastidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolahpendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadarkita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalurpendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar PendidikanDasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjangpendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnyasekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dannama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdasdiberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama(SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolahkejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakanbagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauanberpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernamaSLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya, nama yangtepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelaskedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD),Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat(pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentukSekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yangsederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk SekolahMenengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikanmenengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)'. (E-5)


sumber : http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Soal-Penyusunan-RPP-Pendidikan-Keagamaan

Mutu Pendidikan Agama Masih Belum Optimum

Menag Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan, salah satu tantangan dan tuntutan terbesar Departemen Agama (Depag) dan menjadi salah satu program utama adalah peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan. Namun, usaha peningkatan mutu pendidikan agama masih belum optimum.

“Walaupun dengan bangga saya katakan sudah banyak madrasah unggulan yang bisa menandingi lembaga pendidikan yang lain,” tegas Menag kepada wartawan seusai memimpin upacara Peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) ke-63 Depag yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (3/1).

Menag mengatakan, lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak lagi mendikotomikan antara lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dan yang dikelola oleh masyarakat merupakan suatu berkah, sekaligus sebagai pemicu bagi semua untuk bahu membahu bersinergi dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas.

“Sebagai tindak lanjut dari UU Sisdiknas tersebut, secara khusus Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Peraturan Pemerintah tersebut berfungsi sebagai payung hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan,” ujarnya.

Menag memaparkan, Depag saat ini membina hampir 18.759 raudhatul/bustanul athfal, 40.258 madrasah, 539 Perguruan Tinggi Agama, dan tidak kurang dari 17.605 pondok pesantren. Juga, membina lembaga pendidikan di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimas Kristen, Katholik, Hindu, dan Buddha. Selain itu, kata dia, lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan yang bersifat non formal dan informal yang berkembang di tengah masyarakat. “Besarnya jumlah lembaga dan peserta didik tersebut dengan jelas menunjukkan betapa berat tugas yang diemban Departemen Agama,” tuturnya.

Permasalahan lain, kata Menag, adalah adalah rendahnya mutu tenaga pengajar, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, lemahnya manajemen, dan keterbatasan dana operasional dan dana pengembangan. Ia mengatakan, pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag dari tahun ke tahun. Namun demikian, peningkatan anggaran masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.

“Dengan anggaran yang terbatas tersebut kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan,

sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/11/nas06.html

Perlukah Pendidikan ANAK USIA DINI???

Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.

Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.

Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.

Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.

Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.

Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.

Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.

Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.

Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak

Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)

Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:

Perkembangan fisik motorik

  1. Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.

  2. Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.

  3. Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.

Perkembangan Kognitif

Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.

Perkembangan Moral dan sosial

Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.

Perkembangan Emosional

Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.

Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)

Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).

Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.

Salam Pendidikan!

Penulis : Maya A Pujiati
Sumber : Pustaka Nilna

http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/Pendas21.asp

Pendidikan Anak Usia Dini tanggung jawab siapa??

Pendidikan anak usia dini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik dari keluarga, lingkungan maupun pemerintah. Karena bagaimanapun, masa kanak-kanak sangat berpengaruh pada proses tumbuh kembang karakter, kepribadian dan pertumbuhan jasmani si anak. Merujuk pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini (RPP PAUD) yang mengatur pendidikan usia dini salah satunya bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan. Tapi sayang dalam pelaksanaannya pendidikan anak sejak masih dalam kandungan sampai usia enam tahun ini, sering terabaikan. Banyak orang tua, justru menganggap pendidikan taman kanak-kanak (TK) tidak penting, faktor ekonomi, juga sering menjadi faktor pembenar untuk tidak memasukan anak-anaknya di bangku TK. Sekolah-sekolah TK tersebut memang sudah banyak bertebaran di berbagai kawasan elit sampai kawasan kumuh. Dari yang berdana besar sampai yang menggunakan anggaran seadanya sehingga harus kembang kempis untuk membiayai operasionalnya. Sekolah-sekolah taman kanak-kanak tersebut di kelola swasta sebagai penyelenggaranya.

Dengan alasan tingginya biaya operasional, tidak sedikit pihak pengelola menetapkan uang SPP dengan mahal, dan sebagai kompensasinya pihak sekolah memberikan akses layanan pendidikan dengan standarisasi mutu sesuai dengan akreditasi, begitu juga dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Tentu adalah sebuah kewajaran. Namun ternyata ada juga sekolah yang masih berjalan dengan ala kadarnya.

Di tengah kepadatan penduduk, kawasan dukuh kupang barat, sebuah sekolah TK menempati balai RT berukuran 3x5 meter yang terbuat dari gedhek. Siang itu Rabu 04/04/07, sebanyak 35 murid sedang belajar berhitung bersama ibu guru Rusiyah. Seperti sedang mengajari anaknya sendiri, perempuan berputra dua ini sesekali harus mendatangi meja murid-muridnya untuk membetulkan jari-jari tangan mungil yang dijadikan alat bantu untuk menghitung. Tak jarang juga perempuan asli Kebumen yang mengaku hanya lulusan SMEA ini harus berteriak di antara celoteh dan tangis murid-muridnya. Pekerjaan sosial ini telah dilakukan sejak empat tahun lalu bersama suaminya Sukirno (34 tahun).

Saat di datangi www.pdiperjuangan-jatim.org Sukirno yang akrab dipanggil pak guru oleh warga sekitar ini sedang sibuk menambal ban motor. � Ya, beginilah mas pekerjaan sampingan saya untuk makan sehari-hari, tadi ya ngajar, terus saya tinggal karena ada yang manggil untuk nambal ban ini, lumayan untuk kebutuhan sehari-hari�, begitulah Sukirno nyerocos mengawali pembicaraan. Menurutnya Ia dan istrinya lebih sering harus mengalah dengan tidak mengambil gaji dari sekolah yang di kelolanya, sehingga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di samping membuka usaha tambal ban di depan rumah petaknya, lelaki lulusan STM ini juga memberikan les privat kepada anak-anak tetangganya.

�Coba saja sampeyan hitung sendiri, dengan SPP Rp 12.500 per anak, perbulan kelihatannya memang besar, itu kalau bayar semua, lha kenyataannya sebulan yang bayar paling-paling sepuluh orang atau paling banter 15 orang, dikurangi biaya operasionalnya, habis mas, mau nagih ya gimana wong sama susahnya�, sambil tertawa lelaki asli Surabaya ini menceritakan sulitnya menanamkan tanggung jawab ke orang tua murid-muridnya yang rata-rata bekerja sebagai pemulung bahkan menurutnya, juga ada yang menunggak SPP sampai anaknya lulus maupun yang tidak mengambil ijazah.

Sementara ketika di singgung mengenai perkembangan anak asuhnya, pasangan suami istri ini mengaku bangga meskipun harus berada di tengah-tengah keterbatasannya. �Saya nggak malu ngelola sekolah ini, meskipun disini keadanya hanya begini, sebab ada juga beberapa mantan anak didik kami yang juga juara kelas di sekolah SD nya sekarang�.

Hanya saja, menurut Sukirno hampir tidak ada orang yang mau peduli dengan nasib keberadaan sekolahnya. Semuanya dikerjakan sendiri bersama istrinya, mulai dari mengurus yayasan, administrasi, mengajar semua di lakukan sendiri. �ibarat berjuang mas, tenaga, pikiran dan uang, itu kalau ada saya curahkan semuanya untuk ngurus sekolah ini sendirian saja. tetangga? siapa sih mas yang mau dengan sukarela kalau nggak ada duitnya, sampeyan tahu gimana warga sini sehari-harinya mereka hanya sibuk untuk berusaha memenuhi kebutuhannya�, begitulah Sukirno menggambarkan keseharian para tetangga yang sekaligus menjadi orang tua murid-muridnya yang sehari-hari menempati rumah petak di tanah Yayasan Makam Dukuh Kupang.

Ketika di singgung untuk mengajukan dana bantuan ke pemerintah pak guru Sukirno mengaku tidak tahu cara pengurusannya, apalagi status sekolah yang di kelolanya pun hanya sebatas ijin pemberitahuan ke kecamatan namun Sukirno juga mengaku bersyukur bahwa di tahun 2006 yang lalu dirinya mendapat insentif dari Diknas sebesar Rp 345.000 / 3 bulan. Namun tahun 2007 ini menurutnya masih dalam proses pengajuan ke Diknas.(Lly)

Sumber : http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=81

Kamis, 16 April 2009

departemen-ikk-fema-ipb-gelar-seminar-nasional-pendidikan-anak-usia-dini

Bogor, 12 November 2008. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB akan menyelenggarakan “SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI”. Seminar ini bertujuan:

  1. Menelaah peran dan kontribusi Pendidikan Anak Usia Dini dalam peningkatan kualitas SDM dan pembangunan nasional.
  2. Menganalisis efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
  3. Merumuskan strategi dalam pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini secara holistikdan terpadu dalam era desentralisasi.

Tema dari Seminar Nasional PAUD tahun 2008 adalah “Pendidikan Anak Usia DIni: Investasi Strategis Pembangunan Sumberdaya Manusia dan Pembangunan Nasional di Masa Mendatang“.

Seminar akan dilaksanakan di Gedung IPB International Convention Center (IICC) (Sebelah Kampus IPB Baranangsiang Bogor); pada Rabu, 26 November 2008, pukul 08.00 s.d 17.30 WIB. Seminar ini akan menghadirkan pembicara antara lain:

  1. Hamid Muhammad, Ph.D (Dirjen PNFI, Depdiknas RI), tentang “Kebijakan Pemerintah dalam Pembinaan PAUD di Indonesia”
  2. Dra. Nina Sardjunani, MA (Deputi Bidang SDM dam Kebudayaan, Kementrian PPN/Bappenas RI), tentang “Rencana Strategis Nasional Pembangunan Sumberdaya Manusia: Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Pendidikan Anak Usia Dini”
  3. Prof. Fasli Jalal, Ph.D (Dirjen Dikti, Depdiknas RI); tentang “Peran Perguruan Tinggi dalam Penyiapan Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUD Berkualitas di Masa Mendatang”
  4. Dr. Ir. Ratna Megawangi, MSc (Forum PAUD Indonesia), tentang “Pendidikan Karakter pada Anak Usia Dini sebagai Investasi Pembangunan Sumberdaya Manusia”.
  5. Dr. Christine Chen (AECES Singapura), tentang “Policy & Experiences of Early Childhood Education in Singapore”
  6. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MSc (FEMA IPB, Bogor); tentang “Pengaruh Gizi terhadap Kualitas Perkembangan Anak Usia Dini”
  7. dr. Adre Mayza, Sp.S(K) (Ketua Limbang HIMPAUDI Pusat/Kepala Bidang Peningkatan Pemeliharaan Intelegensia Kesehatan, Depkes RI); tentang “Stimulasi Psikososial terhadap Perkembangan Kecerdasan Majemuk Anak Usia Dini”

Biaya dan Informasi Pendaftaran

  1. Biaya investasi: Rp 150.000,- dengan fasilitas berupa seminar kit, coffee break, makan siang dan snack, makalah, jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, serta Sertifikat.
  2. Pendaftaran sampai dengan tanggal 21 November 2008 hanya akan dikenakan biaya pendaftaran Rp 100.000,-. Gratis 1 (satu) peserta untuk setiap pendaftaran 10 (sepuluh) orang.
  3. Pendaftaran dilakukan dengan cara: (a) Mengirim biaya pendaftaran melalui transfer ke rekening: BRI KCP IPB BOGOR an. DEPARTEMEN IKK FEMA-IPB ke nomor rekening 0595-01-006188-50-8
  4. Mengisi formulir yang telah disediakan (terlampir) dan mengirimkannya serta melampirkan bukti transfer melalui fax ke (0251) 8627432 atau melalui attachment ke alamat email alfia81@gmail.com.

Sekretariat Panitia

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia - Institut Pertanian Bogor

Jl. Lingkar Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

Telp: 0251 - 8628303, Fax: 0251 8627432

Kontak: Ir. Melly Latifah, MSi; Alfiasari, SP, MSi; dan Neti Hernawati, SP


Sumber: http://fema.ipb.ac.id/index.php/departemen-ikk-fema-ipb-gelar-seminar-nasional-pendidikan-anak-usia-dini

IMPLEMENTASI KONSEP MONTESSORI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Jumat, 19 Desember 2008 17:13:20
Oleh: Harizal Kasubdit Harlindung PTK-PNF
IMPLEMENTASI KONSEP MONTESSORI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Kategori: Insan Peduli PTKPNF (4412 kali dibaca)

A. PENDAHULUAN

Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangananya. Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan (preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.

Mencermati perkembangan anak dan perlunya pembelajaran pada anak usia dini, tampaklah bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan anak usia dini, yakni: 1) materi pendidikan, dan 2) metode pendidikan yang dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 menegaskan bahwa, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Menyikapi perkembangan anak usia dini, perlu adanya suatu program pendidikan yang didisain sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Kita perlu kembalikan ruang kelas menjadi arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas, kita jadikan ruang kelas sebagai ajang kreaktif bagi anak dan menjadikan mereka kerasan dan secara psikologis nyaman. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini dikemukan bagaimana Mantessori mendisain program pembelajaran untuk anak usia dini.


B. PEMBAHASAN

Tokoh pendidikan anak usia dini, Montessori, mengatakan bahwa ketika mendidik anak-anak, kita hendaknya ingat bahwa mereka adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa dan pendidik adalah memberikan sarana dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu. Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa-masa yang sangat baik untuk suatu formasio atau pembentukan. Masa ini juga masa yang paling penting dalam masa perkembangan anak, baik secara fisik, mental maupun spritual. Di dalam keluarga dan pendidikan demokratis orang tua dan pendidik berusaha memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, baik dan tepat bagi setiap orang tua dan pendidik yang terlibat pada proses pembentukan ini, mengetahui, memahami perkembangan anak usia dini. Tapi sekolah kita belum memiliki based line data yang holistik yang dapat memberikan berbagai informasi tentang perkembangan behavior dan kesulitan belajar anak terhadap berbagai subkompetensi materi sulit. Informasi ini sangat diperlukan untuk melakukan treatmen secara berjenjang tentang perkembangan anak sejak usia dini sampai mereka dewasa (SLTA).

Perkembangan Anak Usia Dini

Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.

Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat “menyerap” pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
Masa usia 2 – 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.

Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan.

Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun sekaligus alamiah seperti bermain di “taman”. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat.


Pembelajaran Pada Taman kanak-Kanak

Anak taman kanak-kanak termasuk dalam kelompok umum prasekolah. Pada umur 2-4 tahun anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan menciptakan sesuatu. Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh sistem geraknya sudah lentur, sering mengulangi perbuatan yang diminatinya dan melakukan secara wajar tanpa rasa malu. Di taman kanak-kanak, anak juga mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal yang menarik, anak-anak juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung pada orang lain.

Sehubungan dengan ciri-ciri di atas maka tugas perkembangan yang diemban anak-anak adalah:
Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.
Membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri
Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya
Mengembangkan peran sosial sebagai lelaki atau perempuan
Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan dalam hidup sehari-hari
Mengembangkan hati nurani, penghayatan moral dan sopan santun
Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, matematika dan berhitung
Mengembangkan diri untuk mencapai kemerdekaan diri.

Dengan adanya tugas perkembangan yang diemban anak-anak, diperlukan adanya pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak yang selalu “dibungkus” dengan permainan, suasana riang, enteng, bernyanyi dan menari. Bukan pendekatan pembelajaran yang penuh dengan tugas-tugas berat, apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti paksaan untuk membaca,menulis, berhitung dengan segala pekerjaan rumahnya yang melebihi kemampuan anak-anak.

Pada usia lima tahun pada umumnya anak-anak baik secara fisik maupun kejiwaan sudah siap untuk belajar hal-hal yang semakin tidak sederhana dan berada pada waktu yang cukup lama di sekolah. Setelah apada usia 2-3 tahun mengalami perkembangan yang cepat. Pada usia enam tahun, pada umumnya anak-anak telah mengalami perkembangan dan kecakapan bermacam-macam keterampilan fisik. Mereka sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti meloncat, melompat, menangkap, melempar, dan menghindar. Pada umumnya mereka juga sudah dapat naik sepeda mini atau sepeda roda tiga. Kadang-kadang untuk anak-anak tertentu keterampilan-keterampilan ini telah dikuasainya pada usia 4-5 tahun.

Montessori memberikan gambaran peran guru dan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kecerdasan, sebagai berikut:

a. 80 % aktifitas bebas dan 20 % aktifitas yanag diarahkan guru

b. melakukan berbagai tugas yang mendorong anak untuk memikirkan tentang hubungan dengan orang lain

c. menawarkan kesempatran untuk menjalin hubungan social melalui interaksi yang bebas

d. dalil-dalil ditemukan sendiri, tidak disajikan oleh guru

e. atauran pengucapan didapat melalui pengenalan pola, bukan dengan hafalan

setiap aspek kurikulum melibatkan pemikiran

Montessori, mengatakan bahwa pada usia 3-5 tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte dengan belajar mengetik. Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan membaca. Ada suatu penelitian di Amerika yang menyimpulkan bahwa kenyataannya anak-anak dapat belajar membaca sebelum usia 6 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu membaca pada usia 3 tahun, 6 % pada usia empat tahun, dan sekitar 20 % pada usia 5 tahun. Bahkan terbukti bahwa pengalaman belajar di taman kanak-kanak dengan kemampuan membaca memadai akan sangat menunjang kemampuan belajar pada tahun-tahun berikutnya.

Pendapat Montessori ini didukung oleh Moore, seorang sosiolog dan pendidik, meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun awal merupakan tahun-tahun yang paling kreaktif dan produktif bagi anak-anak. Oleh karena itu, sejauh memungkinkan, sesuai dengan kemampuan, tingkat perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga mengajarkan menulis, membaca dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah strategi pengalaman belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik, mempesona, penuh dengan permainan dan keceriaan, enteng tanpa membebani dan merampas dunia kanak-kanak mereka.

Salah satu hal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak adalah suasana keluarga dan kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis, sekaligus menawarkan kesempatan untuk menjalin hubungan sosial melalui interaksi yang bebas. Hal ini ditandai antara lain dengan adanya relasi dan komunikasi yang hangat dan akrab. .

Pada masa usia 2 – 6 tahun, anak sangat senang kalau diberikan kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri, karena mereka sedang membutuhkan kemerdekaan dan perhatian. Pada masa ini juga mencul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut pemenuhannya. Mereka terdorong untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu. Guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang wajar. Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya.

Perlu diingat juga bahwa minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, karena itu guru dan orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang bervariasi dan tidak menerapkan disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan berkembang kecerdasannya dengan cepat kalau diberi penghargaan dan pujian yang disertai kasih sayang, dengan tetap memberikan pengertian kalau mereka melakukan kesalahan atau kegagalan. Dengan kasih sayang yang diterima, anak-anak akan berkembang emosi dan intelektualnya, yang penting adalah pemberian pujian dan penghargaan secara wajar.

Untuk memfasilatasi tingkat perkembangan fisik anak, pada taman kanak-kanak perlu dibuat adanya arena bermain yang dilengkapi dengan alat-alat peraga dan alat-alat keterampilan lainnya, karena pada usia 2- 6 tahun tingkat perkembangan fisik anak berkembang sangat cepat, dan pada umur tersebut anak-anak perlu dikenalkan dengan fasilitas dan alat-alat untuk bermain, guna lebih memacu perkembangan fisik sekaligus perkembangan psikis anak terutama untuk kecerdasan.

Banyak penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil pada umumnya berasal dari keluarga yang demokratis, suka melakukan uji coba, suka menyelidiki sesuatu, suka berpergian (menjelajah alam dan tempat), dan aktif, tak pernh diam dan berpangku tangan. Ingat keterampilan tangan adalah jendela menuju pengetahuan. Dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba (trial and error), mangadakan penyelidikan bersama-sama, menyaksikan dan menyentuh sesuatu objek, mengalami dan melakukan sesuatu , anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar dengan mampu memanfaatkan atau menerapkan apa yang telah dipelajari.


C. KESIMPULAN

Dalam mengimplementasikan konsep Montessori terhadap program pendidikan bagi anak usia dini perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Kukrikulum pada pendidikan anak usia dini didesain berdasarkan tingkat perkembangan anak.

2. Materi maupun metodologi pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan tertentu.

3. Kompetensi akademis merupakan alat untuk mencapai tujuan,dan manipulasi dilihat sebagai materi yang berguna untuk poengembangan diri anak, Montessori menganjurkan perlu adanya area yang berbeda mewakili lingkungan yang disediakan, yaitu:

a. Practical life memberikan pengembangan dari tugas organisasional dan urutan kognisi melalui perawatan diri sendiri, perawatan lingkungan, melatih rasa syukur dan saling menghormati, dan koordinasi dari pergerakan fisik,

b. The sensorial area membuat anak mampu untuk mengurut, mengklasifikasi dan menerangkan impresi sensori dalam hubungannya dengan panjang, lebar, temperatur, masa, warna, titik, dan lain-lain.

c. Mathematics memanfaatkan pemanipulasian materi agar anak mampu untuk menginternalisasi konsep angka, symbol, urutan operasi, dan memorisasi dari fakta dasar

d. Language art yang di dalamnya termasuk pengembangan bahasa lisan, tulisan, membaca, kajian tentang grammar, dramatisasi, dan kesusesteraan anak-anak. Keahlian dasar dalam menulis dan membaca dikembangkan melalui penggunaan huruf dari kertas, kata-kata dari kertas pasir, dan berbagai prestasi yang memungkinkan anak-anak untuk menghubungkan antara bunyi dan simbul huruf, dan mengekpresikan pemikiran mereka melalui menulis.

e. Cultural activies membawa anak-anak untuk mengetahui dasar-dasar geografis, sejarah dan ilmu sosail. Musik, dan seni lainnya merupakan bagian dari kurikulum terintegrasi.

4. Lingkungan pendidikan anak usia dini menggabungkan fungsi psiko-sosial, fisik dan akademis dari seorang anak. Tugas pentingnya adalah untuk menyediakan dasar yang awal dan umum, dimana di dalamnya termasuk tingkah laku yang positif terhadap sekolah, inner security, kebiasaan untuk berinisiatif, kemampuan untuk mengambil keputusan, disiplin diri dan rasa tanggung jawab anggota kelas lainnya, sekolah dan komunitas. Dasar ini akan membuat anak-anak mampu untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang lebih spesifik dalam kehidupan sekolah mereka.




DAFTAR PUSTAKA


Atkitson, R.L., dkk. Introduction to Psychology., New York: Harcourt Brace Javanovich, Ich., 1983.



Henry N, Siahan., Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak, Bandung: Angkasa , 1986



Steven Carr Reuben, Ph.D., Children of Character, a parent guide, Santa Monica: Canter and Associates, Inc, 1997.



Theo Riyanto FIC., dkk., Pendidikan Pada Usia Dini., Grasindo, Jakarta, 2004


(Harizal)